Bahaya Putusan MK soal Kampanye di Fasilitas Pendidikan

ilustrasi kampanye. istimewa

Jakarta, Wartabrita.com — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan kampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan dinilai berbahaya. Dewan Pengurus Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai kalau utusan tersebut mengancam kelancaran proses belajar dan mengajar.

“Penggunaan fasilitas pendidikan, jika ditafsirkan sebagai penggunaan lahan dan bangunan sekolah dan universitas maka jelas mengganggu pembelajaran,” kata Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri di Jakarta, Senin (21/8).

Dia melanjutkan, putusan MK ini juga akan mengorbankan kepentingan siswa, guru hingga orang tua dalam praktik pembelajaran di sekolah. Dia menjelaskan, kegiatan sekolah akan bertambah seperti sosialisasi pemilu atau sosialisasi kandidat sehingga pastinya akan menjadi beban psikologi bagi anak termasuk guru.

“Bayangkan ada Pemilu dan Pilkada yang akan dihadapi. Sekolah akan sibuk menjadi arena pertarungan politik praktis. Sekolah, guru, siswa dan ortu akan membawa politik partisan ke ruang ruang belajar,” katanya,

Dia melanjutkan bahwa aktivitas belajar mengajar juga akan terdistorsi menjadi aktivitas saling berebut politik kekuasaan. Siswa, guru dan warga sekolah juga akan sangat rentan dimobilisasi sebagai tim kampanye atau tim sukses para kandidat.

Iman melanjutkan, sekolah yang dijadikan ruang kampanye juga rentan memunculkan bullying. Apalagi jika materi kampanye kandidat atau partai sudah mengarah pada isu politik identitas.

“Sebagai contoh, siswa yang pilihan politiknya berbeda dari pilihan mayoritas murid lain, rentan akan dirundung oleh teman-temannya,” katanya.

Lebih jauh, penggunaan sekolah sebagai ruang kampanye juga berpotensi tendensius. Dia mencontohkan, kepala sekolah akan sulit menolak apalagi diperintahkan secara struktural dari Pemda dan dinas pendidikan.

“Apalagi jika pimpinan struktural di sekolah atau daerah sudah punya preferensi politik tertentu,” katanya.

Pada praktiknya P2G mempertanyakan siapa yang akan bertanggung jawab atas kerusakan dan kehilangan fasilitas atau aset sekolah. Jika dikembalikan ke sekolah jelas akan membebani sekolah. Padahal Pemilu dan pendidikan anggarannya berbeda.

“Ini seperti anggaran pendidikan dituntut mensubsidi Pemilu yang juga sudah ada anggarannya. Karena sudah pasti setiap kerusakan akan ditanggung sekolah (anggaran pendidikan),” tegasnya.

Seperti diketahui, MK telah mengizinkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan selama tidak menggunakan atribut kampanye. Hal ini termuat dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa (15/8/2023) lalu.

Putusan MK dikeluarkan setelah ada gugatan oleh dua orang pemohon yakni Handrey Mantiri dan Ong Yenni yang menilai ada inkonsistensi aturan terkait aturan itu dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Larangan kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah tercantum tanpa syarat dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h.

Namun, pada bagian Penjelasan, tercantum kelonggaran yang berbunyi, “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan.

Dalam amar putusannya, MK menyatakan, bagian Penjelasan itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena menciptakan ambiguitas. Jika pengecualian itu diperlukan, maka seharusnya ia tidak diletakkan di bagian penjelasan.

Pos terkait